Senin, 24 Agustus 2015

JUBI --- Namanya Peneas Lokbere. Ia berasal dari Mapenduma, Kabupaten Nduga. Lokbere berasal dari dari keluarga yang serba kekurangan. Walau demikian, Lokbere tak pernah patah semangat dalam menimba ilmu. Dalam mengarungi dunia pendidikan, terbersit dalam ingatan, sebuah kisah yang memilukan.
Pada Tahun 1976 silam, ibunda terkasihnya dipanggil Sang Maha Kuasa. Sedangkan ayahandanya baru meningggalkannya menghadap Sang Khalik pada Tahun 2005 lalu. Dia dan adiknya terpaksa diasuh oleh neneknya, setelah perundingan adat dilakukan. "Waktu mama saya meninggal, saya baru berumur 9 tahun sedangkan sa pu ade baru umur 10 bulan," kenangnya saat JUBI bertandang ke rumahnya di Perumnas III Waena, Jayapura, beberapa waktu lalu.
Dia mengaku, sejak menginjak sekolah dasar, biaya pendidikan ditanggung oleh kakek dan neneknya. Lokbere tamat Sekolah Dasar (SD) Yayasan Pendidikan Pesersekolahan Gereja Indonesia (YPPGI) pada Tahun 1980. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Wamena. Dia mengaku saat SMP, pendidikannya sempat putus lantaran situasi ekonomi yang sulit. Kondisi krisis itu juga dihadapi hampir seluruh warga di Wamena ketika itu. Lantas, untuk menyambung kembali, ia nekat merantau ke Jayapura.  "Karena  situasi saat itu sulit, jadi terpaksa saya harus ambil keputusan untuk pindah ke Jayapura," ujar Lokbere mengenang kembali masa lalunya. Setiba di Jayapura, Lokbere melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Arso dan berhasil menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya. Keberhasilan itu diperoleh berkat kerja kerasnya yang pantang menyerah dengan keadaan.
Setelah tamat SMP, Lokbere mendaftarkan dirinya ke SMA Swakrasa Arso. Dia bercerita bahwa untuk menutupi biaya hidup dan biaya sekolah, ia harus bekerja keras mencari uang. “Tidak ada bantuan dari orang lain. Saya berjuang sendiri,” katanya. Perjuang keras itu berlangsung hingga tamat SMA pada Tahun 1997. Setelah tamat SMA, sebenarnya ia berkeinginan untuk langsung melanjutkan ke perguruan tinggi namun uang tidak mencukupi. Ia terpaksa menganggur selama dua tahun. Jeda waktu 2 tahun tersebut dimanfaatkannya untuk mencari uang kuliah. Keinginan untuk melanjutkan studinya terpenuhi Tahun 1997. Pada tahun itu Lokbere berhasil masuk ke Perguruan Tinggi yakni di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Silas Papare (STISIPOL Silas Papare) Jayapura.
“Saya tidak pernah putus asa,” katanya. Dalam perjalanan mengenyam bangku pendidikan tinggi, lelaki asal Pegunungan Tengah Papua ini melewati berbagai peristiwa. Tragedi Tahun 2000 masih segar dalam ingatannya. Ketika itu Lokbere dan rekan-rekannya sadang tertidur pulas di Asrama Ninmin. Kejadian itu adalah dampak dari penyerangan Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Abepura oleh kelompok tak dikenal. Usai penyerangan Polsek, satuan pengamanan gabungan dari polksekta Abepura, Polresta Jayapura dan Brimob Papua melakukan penyisiran di tiga lokasi yaitu  Skyland, Abe Pantai, Kompleks Jalan baru Kotaraja dan Asrama Ninmin. "Waktu polisi datang sekitar Pukul 02.00 WP. Kami sudah tertidur lelap. Polisi datang dan langsung menendang pintu untuk paksa kami keluar," kenang Lokbere. Mereka terpaksa bangun dan keluar untuk bertemu dengan polisi. Moncong senjata, tuduhan, cercaan dan paksaan dilakukan polisi kepada mereka. Seluruh penghuni asrama dikumpulkan di satu tempat. "Saat itu saya menjabat sebagai Ketua Asrama. Jadi, terpaksa saya kumpul teman-teman semua dari kamar ke kamar dan duduk di ruang tamu,” katanya.
Hampir seluruh penghuni asrama yang terdiri dari 9 perempuan 13 laki-laki serentak bertanya pada polisi perihal penggeledahan tersebut. “Polisi tidak jawab, mereka memukul dan menendang kami,” ujarnya. “Lebih parah lagi saat ditanya surat penangkapan, polisi tambah beringas disertai cacian yang tidak manusiawi. Setelah itu kami digiring paksa ke dalam truk dan dibawa ke Polda Papua. Setiba di sana, polisi masih terus melampiaskan amarahnya.”
Dia masih ingat, saat itu ada kata-kata mendiskreditkan yang dilakukan aparat negara. "Mereka bilang kita Orang Papua tu yang selalu bikin kacau, apalagi Orang Pegunungan. Kami dipukul dan dijemur di tengah lapangan kosong sejak pagi hingga sore hari." Saat sore, lanjut Lokbere, kami bertemu warga dari tiga lokasi yang juga disisir. Dalam tragedi itu, tiga orang mahasiswa jadi korban, dua diantaranya adalah Joni Karunggu dan Ori Ndoronggi yang meninggal dalam sel tahanan Polda Papua akibat penganiayaan. Korban ketiga meninggal dalam summary execution (pembunuhan kilat) yaitu terhadap Elkius Suhuniap di Daerah Skyline, Jayapura Selatan. Dalam tragedi itu, adik kandung Lokbere juga meninggal dunia. Dia mengaku, penyampaian kepada pihak keluarga oleh aparat kepolisian bahwa korban bahwa adiknya itu meninggal karena sakit di penjara.
“Saat itu penahanan dan penganiayaan dilakukan selama dua hari satu malam.” Kata Lokbere
Dia berkisah, peristiwa memilukan itu menghambat perkuliahan Lokbere. Ia tak dapat melanjutkan kuliah karena harus mendapat perawatan serius setelah dikeluarkan bersama rekannya dari Polda Papua.  Beberapa mahasiswa bersama Lokbere terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Dian Harapan di Perumnas II Waena untuk dirawat. Mereka mengalami sejumlah luka di sekujur tubuh. “Kami dirawat hampir dua minggu,” katanya. Kondisi ini memaksa lelaki kelahiran Tahun 1976 tak lagi ‘pusing’ dengan perkuliahannya.
Tahun 2003 ia mulai menggerakkan rekan-rekan korban dengan membentuk Komunitas Korban Kasus Abepura (KSA). Komunitas ini sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak mereka, seperti rasa keadilan dan kebenaran. Dia mengaku bahwa KSA didukung oleh PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang HAM.

Dalam mencari keadilan Lokbere mengaku mencari dukungan di Swiss. Di sana ia memberi kesaksian mengenai perlakuan yang dialami KSA. Selain itu, dia dan teman-temannya juga memperjuangkan Kasus Abepura berdarah 7 Desember 2000 sampai ke Pengadilan HAM di Makassar. "Pengadilan HAM Makassar hasilnya mengecewakan dan membuat sakit hati. Pelaku dibebaskan oleh hakim,” ujarnya. Walaupun demikian, Peneas bersama para korban lainnya tak henti memperjuangkan nasib mereka.
Dia juga mengaku bahwa dia dan semua korban Pelanggaran HAM akan tetap bersuara untuk menegakkan HAM. Karena itu mereka membentuk sebuah wadah baru yang menaungi semua korban.  Wadah baru itu mereka beri nama Bersatu Untuk Kebenaran (BUK). BUK dibentuk di Biak pada Bulan Februari 2007. Organisasi ini dipimpin oleh dirinya sendiri dan didukung berbagai LSM di Tanah Papua.
Setelah sempat rehat kuliah selama dua tahun, Lokbere  kembali melanjutkan sisa perkuliahan hingga tamat pada 2005. Setelah menyelesaikan kuliah, Lokbere mempersunting (JUBI/Musa Abubar)


Etnia Nimiage. Dari perkawinannya itu dikarunia seorang putra. Dia mengaku ia sempat menjadi tukang ojek yang penghasilannya berkisar Rp. 50.000 – Rp. 70.000/hari. Ternyata, dibalik perjuangan untuk menegakkan HAM, ia dilirik Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua. Di KontraS, Ia dipercaya membidangi Advokasi dan memperjuangkan nasib korban pelanggaran HAM di Papua.

Akibat dari pembobolan gudang senjata tersebut telah terjadi penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang terhadap 7 orang masing-masing Kanisu Murib, Enos Lokobal, Yafrai Murib, Numbunga Telenggen, Kimanus Wenda, Lunus Hiluka dan Maikel Heselo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar