JUBI --- Namanya Peneas Lokbere. Ia berasal dari
Mapenduma, Kabupaten Nduga. Lokbere berasal dari dari keluarga yang
serba kekurangan. Walau demikian, Lokbere tak pernah patah semangat
dalam menimba ilmu. Dalam mengarungi dunia pendidikan, terbersit dalam
ingatan, sebuah kisah yang memilukan.
Pada Tahun 1976 silam, ibunda terkasihnya dipanggil
Sang Maha Kuasa. Sedangkan ayahandanya baru meningggalkannya menghadap
Sang Khalik pada Tahun 2005 lalu. Dia dan adiknya terpaksa diasuh oleh
neneknya, setelah perundingan adat dilakukan. "Waktu mama saya
meninggal, saya baru berumur 9 tahun sedangkan sa pu ade baru umur 10
bulan," kenangnya saat JUBI bertandang ke rumahnya di Perumnas III
Waena, Jayapura, beberapa waktu lalu.
Dia mengaku, sejak menginjak sekolah dasar, biaya
pendidikan ditanggung oleh kakek dan neneknya. Lokbere tamat Sekolah
Dasar (SD) Yayasan Pendidikan Pesersekolahan Gereja Indonesia (YPPGI)
pada Tahun 1980. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Wamena. Dia mengaku saat SMP,
pendidikannya sempat putus lantaran situasi ekonomi yang sulit. Kondisi
krisis itu juga dihadapi hampir seluruh warga di Wamena ketika itu.
Lantas, untuk menyambung kembali, ia nekat merantau ke Jayapura.
"Karena situasi saat itu sulit, jadi terpaksa saya harus ambil
keputusan untuk pindah ke Jayapura," ujar Lokbere mengenang kembali masa
lalunya. Setiba di Jayapura, Lokbere melanjutkan pendidikan di SMP
Negeri 2 Arso dan berhasil menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya.
Keberhasilan itu diperoleh berkat kerja kerasnya yang pantang menyerah
dengan keadaan.
Setelah tamat SMP, Lokbere mendaftarkan dirinya ke
SMA Swakrasa Arso. Dia bercerita bahwa untuk menutupi biaya hidup dan
biaya sekolah, ia harus bekerja keras mencari uang. “Tidak ada bantuan
dari orang lain. Saya berjuang sendiri,” katanya. Perjuang keras itu
berlangsung hingga tamat SMA pada Tahun 1997. Setelah tamat SMA,
sebenarnya ia berkeinginan untuk langsung melanjutkan ke perguruan
tinggi namun uang tidak mencukupi. Ia terpaksa menganggur selama dua
tahun. Jeda waktu 2 tahun tersebut dimanfaatkannya untuk mencari uang
kuliah. Keinginan untuk melanjutkan studinya terpenuhi Tahun 1997. Pada
tahun itu Lokbere berhasil masuk ke Perguruan Tinggi yakni di Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Silas Papare (STISIPOL Silas Papare)
Jayapura.
“Saya tidak pernah putus asa,” katanya. Dalam
perjalanan mengenyam bangku pendidikan tinggi, lelaki asal Pegunungan
Tengah Papua ini melewati berbagai peristiwa. Tragedi Tahun 2000 masih
segar dalam ingatannya. Ketika itu Lokbere dan rekan-rekannya sadang
tertidur pulas di Asrama Ninmin. Kejadian itu adalah dampak dari
penyerangan Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Abepura oleh kelompok tak
dikenal. Usai penyerangan Polsek, satuan pengamanan gabungan dari
polksekta Abepura, Polresta Jayapura dan Brimob Papua melakukan
penyisiran di tiga lokasi yaitu Skyland, Abe Pantai, Kompleks Jalan
baru Kotaraja dan Asrama Ninmin. "Waktu polisi datang sekitar Pukul
02.00 WP. Kami sudah tertidur lelap. Polisi datang dan langsung
menendang pintu untuk paksa kami keluar," kenang Lokbere. Mereka
terpaksa bangun dan keluar untuk bertemu dengan polisi. Moncong senjata,
tuduhan, cercaan dan paksaan dilakukan polisi kepada mereka. Seluruh
penghuni asrama dikumpulkan di satu tempat. "Saat itu saya menjabat
sebagai Ketua Asrama. Jadi, terpaksa saya kumpul teman-teman semua dari
kamar ke kamar dan duduk di ruang tamu,” katanya.
Hampir seluruh penghuni asrama yang terdiri dari 9
perempuan 13 laki-laki serentak bertanya pada polisi perihal
penggeledahan tersebut. “Polisi tidak jawab, mereka memukul dan
menendang kami,” ujarnya. “Lebih parah lagi saat ditanya surat
penangkapan, polisi tambah beringas disertai cacian yang tidak
manusiawi. Setelah itu kami digiring paksa ke dalam truk dan dibawa ke
Polda Papua. Setiba di sana, polisi masih terus melampiaskan amarahnya.”
Dia masih ingat, saat itu ada kata-kata mendiskreditkan yang dilakukan aparat negara. "Mereka bilang kita Orang Papua tu yang selalu bikin kacau, apalagi Orang Pegunungan. Kami dipukul dan dijemur di tengah lapangan kosong sejak pagi hingga sore hari." Saat sore, lanjut Lokbere, kami bertemu warga dari tiga lokasi yang juga disisir. Dalam tragedi itu, tiga orang mahasiswa jadi korban, dua diantaranya adalah Joni Karunggu dan Ori Ndoronggi yang meninggal dalam sel tahanan Polda Papua akibat penganiayaan. Korban ketiga meninggal dalam summary execution (pembunuhan kilat) yaitu terhadap Elkius Suhuniap di Daerah Skyline, Jayapura Selatan. Dalam tragedi itu, adik kandung Lokbere juga meninggal dunia. Dia mengaku, penyampaian kepada pihak keluarga oleh aparat kepolisian bahwa korban bahwa adiknya itu meninggal karena sakit di penjara.
Dia masih ingat, saat itu ada kata-kata mendiskreditkan yang dilakukan aparat negara. "Mereka bilang kita Orang Papua tu yang selalu bikin kacau, apalagi Orang Pegunungan. Kami dipukul dan dijemur di tengah lapangan kosong sejak pagi hingga sore hari." Saat sore, lanjut Lokbere, kami bertemu warga dari tiga lokasi yang juga disisir. Dalam tragedi itu, tiga orang mahasiswa jadi korban, dua diantaranya adalah Joni Karunggu dan Ori Ndoronggi yang meninggal dalam sel tahanan Polda Papua akibat penganiayaan. Korban ketiga meninggal dalam summary execution (pembunuhan kilat) yaitu terhadap Elkius Suhuniap di Daerah Skyline, Jayapura Selatan. Dalam tragedi itu, adik kandung Lokbere juga meninggal dunia. Dia mengaku, penyampaian kepada pihak keluarga oleh aparat kepolisian bahwa korban bahwa adiknya itu meninggal karena sakit di penjara.
“Saat itu penahanan dan penganiayaan dilakukan selama dua hari satu malam.” Kata Lokbere
Dia berkisah, peristiwa memilukan itu menghambat
perkuliahan Lokbere. Ia tak dapat melanjutkan kuliah karena harus
mendapat perawatan serius setelah dikeluarkan bersama rekannya dari
Polda Papua. Beberapa mahasiswa bersama Lokbere terpaksa dilarikan ke
Rumah Sakit Dian Harapan di Perumnas II Waena untuk dirawat. Mereka
mengalami sejumlah luka di sekujur tubuh. “Kami dirawat hampir dua
minggu,” katanya. Kondisi ini memaksa lelaki kelahiran Tahun 1976 tak
lagi ‘pusing’ dengan perkuliahannya.
Tahun 2003 ia mulai menggerakkan rekan-rekan korban
dengan membentuk Komunitas Korban Kasus Abepura (KSA). Komunitas ini
sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak mereka, seperti rasa keadilan
dan kebenaran. Dia mengaku bahwa KSA didukung oleh PBHI (Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia), sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di bidang HAM.
Dalam mencari keadilan Lokbere mengaku mencari dukungan di Swiss. Di sana ia memberi kesaksian mengenai perlakuan yang dialami KSA. Selain itu, dia dan teman-temannya juga memperjuangkan Kasus Abepura berdarah 7 Desember 2000 sampai ke Pengadilan HAM di Makassar. "Pengadilan HAM Makassar hasilnya mengecewakan dan membuat sakit hati. Pelaku dibebaskan oleh hakim,” ujarnya. Walaupun demikian, Peneas bersama para korban lainnya tak henti memperjuangkan nasib mereka.
Dia juga mengaku bahwa dia dan semua korban
Pelanggaran HAM akan tetap bersuara untuk menegakkan HAM. Karena itu
mereka membentuk sebuah wadah baru yang menaungi semua korban. Wadah
baru itu mereka beri nama Bersatu Untuk Kebenaran (BUK). BUK dibentuk di
Biak pada Bulan Februari 2007. Organisasi ini dipimpin oleh dirinya
sendiri dan didukung berbagai LSM di Tanah Papua.
Setelah sempat rehat kuliah selama dua tahun,
Lokbere kembali melanjutkan sisa perkuliahan hingga tamat pada 2005.
Setelah menyelesaikan kuliah, Lokbere mempersunting (JUBI/Musa Abubar)
Etnia Nimiage. Dari perkawinannya itu dikarunia seorang putra. Dia mengaku ia sempat menjadi tukang ojek yang penghasilannya berkisar Rp. 50.000 – Rp. 70.000/hari. Ternyata, dibalik perjuangan untuk menegakkan HAM, ia dilirik Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua. Di KontraS, Ia dipercaya membidangi Advokasi dan memperjuangkan nasib korban pelanggaran HAM di Papua.
Akibat dari pembobolan gudang senjata tersebut telah terjadi penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang terhadap 7 orang masing-masing Kanisu Murib, Enos Lokobal, Yafrai Murib, Numbunga Telenggen, Kimanus Wenda, Lunus Hiluka dan Maikel Heselo.
Etnia Nimiage. Dari perkawinannya itu dikarunia seorang putra. Dia mengaku ia sempat menjadi tukang ojek yang penghasilannya berkisar Rp. 50.000 – Rp. 70.000/hari. Ternyata, dibalik perjuangan untuk menegakkan HAM, ia dilirik Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua. Di KontraS, Ia dipercaya membidangi Advokasi dan memperjuangkan nasib korban pelanggaran HAM di Papua.
Akibat dari pembobolan gudang senjata tersebut telah terjadi penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang terhadap 7 orang masing-masing Kanisu Murib, Enos Lokobal, Yafrai Murib, Numbunga Telenggen, Kimanus Wenda, Lunus Hiluka dan Maikel Heselo.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar